[PDF] [PDF] Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial - Journal Unair

Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial, Fakultas Psikologi Universitas remaja dari keluarga yang bercerai menjadi latar belakang penelitian ini dilakukan SPSS survival manual: A step by step guide to data analysis using



Previous PDF Next PDF





[PDF] Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial - Journal Unair

Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial, Fakultas Psikologi Universitas remaja dari keluarga yang bercerai menjadi latar belakang penelitian ini dilakukan SPSS survival manual: A step by step guide to data analysis using



[PDF] HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN INTROVERT DAN - Neliti

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang Jl Raya Tlogomas 246, Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan kepribadian introvert dan 



[PDF] PENGARUH TIPE KEPRIBADIAN DAN HARAPAN - Zenodo

Jurnal Psikologi Insight Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji peran harapan dalam memediasi kepribadian the big five terhadap penyesuaian diri



[PDF] Apakah Kepribadian Menentukan Pemilihan Media - Jurnal UGM

JURNAL PSIKOLOGI FAKULTAS Kepribadian Extraversion, Neuroticism, dan Openness to Experience Tabulasi Data Penelitian yang memenuhi syarat untuk dianalisis Peneliti N 155251/unrestricted/etd pdf pada 28 Maret 2007



PENGARUH TIPE KEPRIBADIAN DAN KUALITAS - Fisip Unmul

29 oct 2014 · 1Mahasiswa Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kualitas persahabatan Berndt, J , 2002 Friendship Quality And Social Development Jurnal No



[PDF] APAKAH TIPE KEPRIBADIAN BERHUBUNGAN - Jurnal Unimus

Faktor psikososial melibatkan aspek psikologis dan sosial Penelitian bertujuan untuk mengetahui kepribadian dengan kecenderungan perilaku cyberbullying pada remaja kelas 10 SMA di Malang dengan Asymp A / bandura0002 pdf



A STUDY ON THE CORRELATION BETWEEN - CORE

Kata Kunci: kepribadian, kecakapan berbicara, mahasiswa Sastra Inggris semester pertama FIB UB penelitian adalah kepribadian Melankolis dan Sanguinis merupakan kepribadian Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan

[PDF] jurnal pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan

[PDF] jurnal pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran

[PDF] jurnal penyerapan tenaga kerja

[PDF] jurnal perekonomian indonesia 2016 pdf

[PDF] jurnal pertumbuhan ekonomi indonesia pdf

[PDF] jurnal pertumbuhan ekonomi pdf

[PDF] jurnal pertumbuhan ekonomi regional

[PDF] jurnal psikologi kepribadian humanistik

[PDF] jurnal psikologi kepribadian manusia

[PDF] jurnal tenaga kerja pdf

[PDF] jurnal tentang kepribadian pdf

[PDF] jurnal teori belajar kognitif

[PDF] jurnal teori humanistik pdf

[PDF] jurnal upah minimum pdf

[PDF] jurnal upah tenaga kerja

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial

http://url.unair.ac.id/9a92e446 e-ISSN 2301-7074

ARTIKEL PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA YANG

MENGALAMI PERCERAIAN ORANGTUA

Sih Rineksa W. N. dan Achmad Chusairi, M.Psi.*

Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

ABSTRAK

Tingginya angka perceraian di Jawa Timur dan berbagai permasalahan yang dialami remaja dari keluarga yang bercerai menjadi latar belakang penelitian ini dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara konsep diri dengan resiliensi. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan responden 71 remaja (32 laki-laki, 39 perempuan) berusia 13-22 tahun yang memiliki pengalaman orangtua yang bercerai. Alat pengumpulan data berupa Skala Konsep Diri berjumlah 36 aitem, dan Reciliency Attitudes and Skill Profile (RASP). Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan resiliensi (r = 0.333, p = 0.005). Dimensi harapan dan penilaian diri memiliki hubungan dengan resiliensi sedangkan pengetahuan tidak memiliki hubungandengan resiliensi. Penelitian ini juga mendeskripsikan perbedaan skor resiliensi berdasarkan variasi usia perkembangan, status pendidikan atau pekerjaan, dan rentang waktu setelah perceraian orangtua. Kata kunci: konsep-diri, perceraian orangtua, remaja, resiliensi

ABSTRACT

The high number of divorce in East Java and many problems experienced by the adolescents of parental divorce were the background of this research. This study aims to determine whether there are correlations between self-concept and resilience among adolescents who experienced parental divorce. This quantitative research was conducted on

71 adolescents (32 boys and 39 girls) of age 13-22 years whose experience of parental divorce.

The data collection instruments were Self-Concept Scale composed of 23 items, and the Resiliency Attitudes and Skill Profile (RASP). The result shows the correlation between self- concept and resilience (p = 0.005, r = 0.333). Hope and evaluation of self have significant positive relationship with resilience while knowledge did not. This study also describe the difference of resilience scores by the variation of developmental age, academic or work status, and interval time after parental divorce. Key words: adolescent, parental divorce, resilience, self-concept *Alamat korespondensi: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Kampus B Universitas Airlangga Jalan Airlangga 4-6 Surabaya 60286. Surel: achmad.chusairi@psikologi.unair.ac.id Naskah ini merupakan naskah dengan akses terbuka dibawah ketentuan the

Creative Common Attribution License

(http://creativecommons.org/licenses/by/4.0), sehingga penggunaan, distribusi, reproduksi dalam media apapun atas artikel ini tidak dibatasi, selama sumber aslinya disitir dengan baik. Hubungan Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami

Perceraian Orangtua 2

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial

Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

PENDAHULUAN

Angka perceraian di Indonesia tergolong tinggi dan terus meningkat pada tahun- tahun terakhir (Sasongko, 2014). Menurut data dari artikel Angka Perceraian di Jawa Timur Capai 100 ribu Kasus, dapat disimpulkan bahwa angka perceraian di Jawa Timur cukup tinggi dengan total 81.672 pada tahun 2014 (Arifin, 2015). Sama halnya dengan perpisahan dan perceraian secara hukum, perpisahan non-legal juga memiliki dampak-dampak negative pada berbagai konteks, termasuk pada anak yang lahir dalam pernikahan tersebut (Sember, 1968). Peristiwa perceraian orangtua membawa dampak sepanjang rentang kehidupan seorang anak (Amato, 1994; Fagan & Churchill, 2012; Whitton, 2008), meski demikian, dinamika psikologis pada masa-masa kritis perkembangan manusia yaitu masa remaja, tidak dapat diabaikan (Kelly & Emery, 2003; Amato, 1994). Elizabeth B. Hurlock (1980) menjelaskan masa remaja sebagai usia dimana baik laki-laki maupun perempuan memiliki masalah yang sulit diatasi, karena selama masa kanak-kanak, permasalahan yang mereka hadapi seringkali diselesaikan oleh orangtua dan guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman mengatasi permasalahan. Karatas dan Cakar (2011) juga menyebutkan bahwa masa remaja pada umumnya ditandai dengan periode depresi, kemarahan, konflik, dan keprihatinan yang intens dan direspon secara ekstrim. Salah satu faktor depresi pada remaja bersumber dari keluarga. Faktor-faktor tersebut meliputi: orangtua yang menderita depresi, orangtua yang tidak terikat secara emosi, orangtua yang mengalami konflik perkawinan, dan orangtua yang mengalami masalah finansial (Santrock, 2011). Dengan kata lain, kondisi keluarga yang diwarnai konflik dan tidak bahagia menyebabkan remaja memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami depresi. Dampak perceraian orangtua bagi anak dan remaja bervariasi mulai dari yang ringan hingga berat, tidak tampak hingga tampak, dan dalam jangka waktu singkat hingga jangka panjang (Amato, 1994; Whitton, 2008; Fagan & Churchill, 2012), namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa orang berhasil melewati masa-masa sulit pasca perceraian orangtua, bangkit dari keterpurukan, bahkan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi (Kelly & Emery, 2003; Chen & George; Werner, 2005). Menurut Chen dan George (2005), yang menjadi faktor kunci dalam kemampuan adaptasi anak adalah resiliensi. Wolin dan Wolin (1993) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk bangkit dari kemalangan, beradaptasi dengan baik dalam berbagai permasalahan, menahan kesulitan, dan memperbaiki diri sehingga memiliki kepandaian dan kekuatan yang lebih. Individu yang resilien dapat melambung dan mengembangkan kompetensi social dan akademik, sekalipun dalam tekanan yang berat. Resiliensi bukanlah sifat yang dibawa individu sejak lahir melainkan hasil interaksi dari berbagai faktor yang oleh beberapa ahli digolongkan sebagai faktor protektif dan faktor risiko (Rutter, 2006; Luthar dkk., 2000; Werner, 2005). Faktor protektif adalah pengaruh yang memodifikasi, memperbaiki, atau merubah respon seseorang terhadap bahaya lingkungan atau situasi yang tidak menguntungkan (Rutter, Resilience in the Face of Adversity, 1985). Faktor protektif resiliensi terdiri dari faktor protektif internal dan eksternal. Faktor internal yang ada dalam diri subjek adalah, subjek memiliki perasaan dicintai dan mampu mencintai orang lain, subjek mampu berempati, dan memiliki keyakinan dan harapan yang besar akan kehidupannya di masa yang akan datang (Swastika,

2009). Faktor protektif yang disebutkan oleh Zolkoski dan Bullock (2012) antara lain

karakteristik individu yang meliputi regulasi diri dan konsep diri, kondisi keluarga, dan dukungan masyarakat. Sejalan dengan hal itu, Richmond dkk. (dalam Wagnaild & Young,

1993) menyatakan bahwa resiliensi dapat dipengaruhi kedisiplinan diri, rasa ingin tahu,

harga diri, dan konsep diri. Beberapa penelitian mendukung bahwa pandangan remaja tentang diri dan identitasnya merupakan salah satu faktor yang memiliki peran dalam Hubungan Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami

Perceraian Orangtua 3

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial

Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

pencapaian resiliensi (Zolkoski & Bullock, 2012; Beardslee & Podorefsky, 1988; Werner,

2005).

Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut (Beardslee & Podorefsky, 1988; Chen & George, Werner, 2005; Crawford, Rutter, 2006; Zolkoski & Bullock, 2012) dapat diketahui bahwa pencapaian resiliensi didukung oleh proses pembentukan konsep diri. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), konsep diri adalah gambaran mental individu tentang dirinya sendiri, segala yang terlintDzdzǡǡ pengharapan, dan penilaian tentang diri. Konsep diri terbentuk dari interaksi antara manusia dengan lingkungannya yaitu orangtua, teman sebaya, dan masyarakat sebagai sumber informasi (Calhoun & Acocella, 1990). Menurut Calhoun dan Accocella (1990), individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuannya sesuai realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk tercapai, mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah sebuah penemuan. Individu yang memiliki konsep diri positif cenderung adaptif karena mampu terbuka terhadap pengalaman dan realitas yang baik dan yang buruk bukan sebagai ancaman, dan kemudian ditanggapi secara fleksibel. Respon positif terhadap situasi baru, kemampuan adaptasi terhadap stres, dan pandangan positif tentang kehidupan inilah yang menjadi faktor protektif resiliensi pada lingkup internal (Garmezy, 1985;

Masten, 1990).

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana pencapaian resiliensi pada remaja yang mengalami perceraian orangtua terkait dengan proses pembentukan konsep diri pada masa remaja. Argumentasi penelitian ini bahwa pembentukan konsep diri ke arah positif dapat mendukung pencapaian resiliensi, sedangkan pembentukan konsep diri yang negatif justru menghambat kemampuan resiliensi. Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin mengetahui bagaimana hubungan antara konsep diri yang terdiri dari tiga dimensi yaitu pengetahuan, harapan, dan penilaian; dengan tingkat resiliensi pada remaja yang mengalami perceraian orangtua.

METODE

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsep diri. Yang dimaksud dengan konsep diri dalam penelitian ini adalah pandangan mengenai diri sendiri, mencakup keyakinan, pengetahuan, pengharapan, dan penilaian terhadap diri sendiri yang diperoleh dari pengalaman dan interaksi dengan orang lain (Calhoun & Acocella, 1990). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah resiliensi. Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk bangkit dari kemalangan, beradaptasi dengan baik dalam berbagai permasalahan, menahan kesulitan, dan memperbaiki diri sehingga memiliki kepandaian dan kekuatan yang lebih. Individu yang resilien dapat melambung dan mengembangkan kompetensi social dan akademik, sekalipun dalam tekanan yang berat (Wolin & Wolin, 1993). Populasi yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 13-

22 tahun yang memiliki orangtua kandung yang bercerai, dan berdomisili di Malang.

Pemilihan populasi penelitian di Kota Malang karena data-data yang menunjukkan bahwa Kota Malang memiliki angka perceraian yang terus meningkat dari tahun ke tahun (Satrio,

2016), sedangkan angka perceraian se-Malang Raya (Kota dan Kabupaten Malang)

menempati peringkat tertinggi di Jawa Timur dan peringkat kedua di Indonesia, setelah

Inderamayu (Anwar, 2016).

Sampel diperoleh dengan cara melakukan penyaringan terhadap data diri dan data keluarga yang dilampirkan pada saat pengisian kuesioner. Data keluarga mencakup pertanyaan mengenai status pernikahan orangtua, jenis perceraian orangtua (legal atau non-legal), tahun perceraian orangtua, ada tidaknya konflik dalam keluarga, dan ada tidaknya orangtua yang meninggal dunia. Data tersebut yang digunakan untuk menentukan Hubungan Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami

Perceraian Orangtua 4

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial

Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

responden mana yang memenuhi kriteria penelitian, sehingga data kuesionernya dapat dianalisis. Data dari responden yang tidak mengisikan data perceraian orangtua selanjutnya dieliminasi (tidak diteliti). Dari hasil pengumpulan data berupa kuesioner cetak dan kuesioner online menggunakan aplikasi Google Form, diperoleh sebanyak 71 responden (32 laki-laki dan 39 perempuan) yang datanya memenuhi kriteria untuk dianalisis. Penelitian ini menggunakan dua skala yaitu skala konsep diri dan skala resiliensi. Kedua skala tersebut dibuat dengan model Likert yang diukur melalui kontinum 1 sampai

4. Pada masing-masing skala terdapat 4 alternatif jawaban yaitu SS (Sangat Setuju), S

(Setuju), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju). Skala konsep diri yang digunakan disusun oleh peneliti berdasarkan tiga dimensi konsep diri yang dijelaskan oleh Calhoun dan Acoccella (1993) yaitu dimensi pengetahuan, harapan, dan penilaian.Skala konsep diri terdiri dari 23 aitem final dengan koefisien reliabilitas 0.833 dan telah memenuhi kriteria validitas masing-masing aitem dengan korelasi item dan total skor di atas 0.25. Pengukuran resiliensi menggunakan skalaReciliency Attitudes and Skill Profile (RASP) yang diterjemahkan dari Therapeutic Recreation Journal. Jurnal tersebut ditulis oleh Karen P. Hurtes dan Lawrence R. Allen (2001) dengan judul Measuring Resiliency in Youth: The Resiliency Attitudes and Skill Profile. Skala RASP disusun berdasarkan hasil analisis kualitatif yang dilakukan oleh Wolin dan Wolin (1993), yang mengidentifikasi karakteristik- karakteristik berikut sebagai individu yang resilien: insight, independence, creativity, humor, initiative, relationships, dan value orientation (morality). Aitem final berjumlah 31 aitem dengan koefisien reliabilitas 0.838. Teknik analisis data yang digunakan disesuaikan dengan tujuan untuk melihat hubungan antara konsep diri dengan resiliensi, menggunakan analisis korelasi product moment dengan teknik Pearson Correlation, yang dalam proses penghitungannya dibantu dengan menggunakan program SPSS 16.0 for Windows.

HASIL PENELITIAN

Data menunjukkan rerata skor konsep diri dan resiliensi dari 71 responden. Berdasarkan penghitungan norma alat ukur, sebanyak 5.6% responden (n = 4) memiliki skor konsep diri pada kategori Sangat Positif, 69% tergolong Positif (n =

49), dan 25.3% berada pada kategori Cukup (n = 18). Hasil ini menunjukkan bahwa

dari seluruh responden tidak ada yang memiliki konsep diri negatif. Hal ini berarti responden memiliki pandangan yang jelas mengenai diri sendiri, memiliki keyakinan, pengetahuan, pengharapan, dan penilaian yang cenderung positif terhadap dirinya (Calhoun & Acocella, 1990). Pada pengukuran resiliensi, sebanyak

12.6% responden (n = 9) memperoleh skor Sangat Tinggi, 60.6% responden (n = 43)

memperoleh skor Tinggi, dan 26.8% (n = 19) berada pada kategori Sedang. Hal ini berarti secara keseluruhan, responden dalam penelitian ini telah mampu dan cukup mampu untuk bangkit dari kemalangan, beradaptasi dengan baik dalam berbagai permasalahan, menahan kesulitan, dan memperbaiki diri sehingga memiliki kepandaian dan kekuatan yang lebih (Wolin & Wolin, 1993). Hubungan Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami

Perceraian Orangtua 5

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial

Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

Analisis deskriptif variabel resiliensi berdasarkan usia menunjukkan bahwa rata-rata skor resiliensi remaja awal dan remaja madya berada pada kategori Sedang, dan remaja akhir berada pada kategori Rendah. Rerata skor resiliensi remaja awal lebih tinggi daripada remaja madya, dapat disimpulkan bahwa skor resiliensi pada pengukuran ini menurun seiring bertambahnya usia subjek. Analisis Deskriptif Variabel Resiliensi berdasarkan Status menunjukkan bahwa ketujuh puluh satu subjek, baik yang duduk di bangku SMP, SMP, Kuliah, maupun bekerja, memiliki rerata skor yang berada pada kategori Sedang. Kelompok subjek SMP memiliki rerata skor resiliensi tertinggi sedangkan subjek yang bekerja memiliki rerata paling rendah. Analisis Deskriptif Variabel Resiliensi berdasarkan Rentang Waktu menunjukkan bahwa remaja yang mengalami perceraian orangtua antara 2 hingga 6 tahun sebelum dilakukannya survey memiliki rerata skor resiliensi lebih rendah daripada yang orangtuanya bercerai pada rentang usia 7 Ȃ 11 tahun. Sedangkan kelompok subjek yang mengalami perceraian orangtua pada waktu yang lebih lama yaitu 12 Ȃ 16 tahun, memiliki rerata skor resiliensi yang berada pada kategori tinggi. Tabel 1. Hasil Uji Korelasi Variabel Konsep Diri dan Resiliensi

TotalKonsepDiri

TotalResiliensi Pearson

Correlation

0,333

Sig. (2-tailed) 0,005

N 71 Hasil uji signifikansi pada table di atas adalah 0.005, artinya Sig. < 0.05 maka korelasi antara kedua variabel signifikan. Koefisien korelasi dari kedua variabel adalah 0,333. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan hubungan antar variabel adalah sedang. Arah hubungan antara variabel konsep diri dan resiliensi adalah positif, ditunjukkan dengan nilai positif pada koefisien korelasi. Hal ini berarti tiap-tiap kenaikan nilai variabel konsep diri selalu disertai kenaikan yang seimbang (proporsional) pada nilai-nilai variabel resiliensi (Hadi, 2004). Hubungan Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami

Perceraian Orangtua 6

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial

Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

Tabel 2. Hasil Uji Korelasi Dimensi Pengetahuan, Harapan, dan Penilaian dengan

Resiliensi

Correlations

Pengetahuan Harapan Penilaian total_R

total_R Pearson Correlation .033 .429** .259* 1

Sig. (2-tailed) .786 .000 .029

N 71 71 71 71

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Hasil uji korelasi antara dimensi pengetahuan dari konsep diri, dengan variabel resiliensi menunjukkan koefisien sebesar 0.033 dan signifikansi 0.786. Angka signifikansi lebih besar dari 0.05 (sig. > 0.05) berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara dimensi pengetahuan dan resiliensi. Dimensi harapan dan resiliensi berkorelasi dengan koefisien sebesar 0.429 dan signifikansi 0.000. Hal ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variable tersebut. Hasil uji korelasi antara dimensi penilaian dari konsep diri, dengan variabel resiliensi menunjukkan koefisien sebesar 0.259 dan signifikansi 0.029. Angka signifikansi kurang dari 0.05 (sig. 0.029 < 0.05) berarti ada hubungan yang signifikan antara dimensi penilaian dan resiliensi.

DISKUSI

Penelitian ini menemukan adanya positif dan signifikan antara konsep diri dan resiliensi, hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu (Beardslee & Podorefsky,

1988; Crawford, 2006; Masten, 1990; Zolkoski & Bullock, 2012). Masten dkk. (2011)

menyebutkan bahwa kemampuan untuk menerima diri sendiri, persepsi positif terhadap diri sendiri, dan rasa berharga merupakan faktor protektif dalam pembentukan resiliensi individu. Sybil Wolin dan Steven Wolin (1993) secara khusus memasukkan konsep diri sebagai salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam penanganan anak-anak (atau orang dewasa) yang berisiko (disebut survivor). Menurutnya, konsep diri adalah hal penting yang harus dibangun saat berhadapan dengan survivor. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuannya sesuai realitas, yaitu Hubungan Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami

Perceraian Orangtua 7

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial

Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk tercapai, mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah sebuah penemuan. Hal ini menunjukkan bahwa konsep diri yang positif merupakan kualitas seseorang yang berkaitan dengan kemampuan resiliensi, yaitu untuk mengatasi kesulitan- kesulitan hidupnya serta menghadapi secara kompeten kondisi yang tidak menguntungkan (Werner, 2005). Koefisien korelasi antara variabel konsep diri dan resiliensi memiliki tingkat kekuatan Sedang (Pallant, 2007). Hal ini berkaitan dengan adanya faktor-faktor lain selain konsep diri yang mungkin mempengaruhi kemampuan resiliensi remaja. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa terapat perbedaan rerata skor resiliensi berdasarkan usia, status, dan tahun perceraian. Tingkatan usia menunjukkan bahwa remaja akhir memiliki rerata skor resiliensi lebih rendah daripada remaja awal dan tengah, sedangkan remaja awal memiliki rerata paling tinggi. Hal serupa juga terdapat pada analisis status dimana mahasiswa dan remaja yang telah bekerja memiliki rerata skor resiliensi lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang masih berstatus pelajar. Hal ini menunjukkan bahwa resiliensi yang tinggi dapat dipengaruhi oleh tahap perkembangan remaja awal dan lingkungan pendidikan. Perbedaan rerata skor resiliensi juga bervariasi menurut rentang waktu sejak perceraian terjadi. Tabel tersebut menunjukkan bahwa remaja yang mengalami perceraian orangtua antara 2 hingga 6 tahun sebelum dilakukannya survei memiliki rerata skor resiliensi lebih rendah daripada yang orangtuanya bercerai pada rentang usia 7 Ȃ 11 tahun, meskipun sama-sama berada pada kategori Sedang. Sedangkan kelompok subjek yang mengalami perceraian orangtua pada waktu yang lebih lama yaitu 12 Ȃ 16 tahun, memiliki rerata skor resiliensi yang berada pada kategori tinggi. Dapat disimpulkan bahwa semakin lama rentang waktu antara peristiwa perceraian orangtua, semakin besark kemampuan anak untuk mengatasi kesulitan, beradaptasi, dan mencapai resiliensi. Hal ini berarti, resiliensi dapat dicapai melalui berbagai proses dari waktu ke waktu (Amato, 1999; Rutter,

1985). Wallerstein dan Kelly (dalam Amato, 1994) menemukan bahwa anak usia

pra-sekolah yang mengalami perceraian orangtua mengalamai masa-masa paling Hubungan Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami

Perceraian Orangtua 8

Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial

Tahun 2017, Vol. 6, 1 - 11

tertekan pada masa-masa awal perpisahan orangtua terjadi, tetapi 10 tahun kemudian mereka menunjukkan adapatasi yang lebih baik. Menurut Wallerstein (1989), meskipun banyak penelitian yang menyatakan bahwa dampak perceraian sangat merugikan bagi anak-anak, tetapi sebagian besar dari mereka mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka setelah 2-3 tahun. Hasil analisis korelasi masing-masing dimensi konsep diri dengan resiliensi menunjukkan adanya hubungan antara dimensi harapan dengan resiliensi, serta dimensi penilaian dengan resiliensi, sedangkan dimensi pengetahuan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan resiliensi. Dimensi pengetahuan meliputi apa yang kita ketahui tentang diri kita sendiri, informasi-informasi dasar seperti usia, jenis kelamin, dan kelompok-kelompok sosial dimana kita berada. Informasi tersebut diperoleh melalui perbandingan antara diri kita dengan orang lain (Calhoun & Acocella, 1990). Menurut Calhoun dan Acocella (1990), kualitas- kualitas yang diperoleh melalui perbandingan dengan orang lain tersebut tidaklah permanen. Kita dapat mengubah aspek-aspek diri kita untuk menjadi sesuai dengan kelompok pembanding, atau mengubah kelompok pembanding untuk memperoleh pengetahuan yang sesuai dengan diri kita. Dengan demikian, pengetahuan tentang diri kita mungkin tidak secara langsung mempengaruhi kemampuan kita dalam menghadapi tantangan atau bangkit dari kesulitan. Dimensi harapan menunjukkan hubungan yang signifikan dengan resiliensi. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), harapan membangkitkan dorongan dan memandu perilaku kita untuk mencapai tujuan tersebut. Orang dengan konsep diri yang positif merancang tujuan-tujuan yang sesuai dan realistis, artinya ada kemungkinan yang besar untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Pada dimensi inilah konsep diri yang positif menjadi modal yang lebih besar untuk kehidupan seseorang, dibanding dengan pengetahuan dan penilaian. Hal ini sesuai dengan hasil uji hubungan antara dimensi harapan dengan resiliensi yang menunjukkan hubungan yang signifikan. Calhoun dan Acocella (1990) menegaskan bahwa pengharapan mengenai diri sendiri menentukan bagaimana seseorang akan bertindak dalam hidupnya. Seseorang yang memiliki konsep diri positif berpikir bahwa ia mampu, dan cenderung akan sukses di kemudian hari karena iaquotesdbs_dbs1.pdfusesText_1