[PDF] BAB III (Autosaved) Wahid Ad-Dakhil kemudian masyhur





Previous PDF Next PDF



Untitled

Gus Dur Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur. Hak Cipta © 1999 pada Al-Zastrouw Ng.



Untitled

Sumber Download Ebook Pratinjau Terbatas Google Books Khusus Buku-buku Berbahasa dalam bentuk file ebook berformat PDF oleh Pustaka Ebook Gratis 78.



Kumpulan - Humor Gus Dur

10 Jan 2009 Tapi sudahlah buku elektronik ini tak hendak membahas itu. Sekali lagi



BUKU-TUNAS-PANCASILA.pdf

Melalui Buku Tunas Pancasila yang diterbitkan oleh. Direktorat Sekolah Dasar dapat menjadi salah satu konteks ini relasi logis dari pernyataan Gus Dur.



DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID

Dalam buku ini pemikiran Gus Dur dikategorikan masuk dalam perspektif fungsionalisme struktural a la sosiolog. Talcolt Parson



NILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUKU LEADERSHIP

KEPEMIMPINAN DALAM BUKU LEADERSHIP SECRETS OF GUS DUR-. GUS MIEK KARYA M.N. IBAD SERTA RELEVANSINYA DENGAN. KOMPETENSI KEPEMIMPINAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM” 



PEMIKIRAN ISLAM-KEBANGSAAN: PANDANGAN KYAI NU

1 Okt 2015 pemikiran Islam-kebangsaan Gus Dur sendiri telah dirilis dalam beberapa buku. Salah satunya berjudul “Islam Kosmopolitan”.



BAB III (Autosaved)

Wahid Ad-Dakhil kemudian masyhur dengan panggilan Gus Dur. Ia lahir Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. serta untuk.



GUS DUR DAN AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA PROGRAM

pemeluk agama Khonghucu dan mempelajari buku-buku “Gus Dur Pecinta Ulama dah_Mulia.pdf dan lihat Gunawan Sumodiningrat dan Ibnu Purna (ed) ...



PEMBELAAN GUS DUR TERHADAP KESESATAN AHMADIYAH

Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh tim penulis buku Nalar Islam. Nusantara (Jamil 2007: 341) sebagai berikut: “Sebagian besar orang tua (moyang) pendiri NU 

64

BAB III

KONSEP ABDURRAHMAN WAHID TENTANG PLURALISME

DALAM BUKU ISLAMKU ISLAM ANDA ISLAM KITA

A. Biografi KH. Abdurrahman Wahid dan Karya-Karyanya 1. KH. Abdurrahman Wahid, Keluarga dan Kehidupan

K.H. Abdurrahman Wahid memiliki nama asli Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil, kemudian masyhur dengan panggilan Gus Dur. Ia lahir di Jombang, Jawa Timur pada 7 September 1940 dan meninggal pada umur 69 tahun di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2009. Ia dimakamkan bersebelahan dengan kakek dan ayahnya di kompleks pesantren Tebu

Ireng, Jombang (Husein, 2012: 16).

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara pasangan KH.

Wahid Hasyim

6 dan Hj. Solichah (Al-Zastrouw, 1999: 13). Ayahnya

adalah putra dari KH. Hasyim Asy"ari, pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus pendiri pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang, sedangkan ibunya adalah putri dari KH. Bisri Syansuri yang menjadi pendiri pondok pesantren Denanyar, Jombang (Barton, 2011: 26-29). Sejak kecil, Gus Dur gemar membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu, Ia juga aktif berkunjung ke

6 Wahid Hasyim adalah Menteri Agama pertama di Indonesia yang diangkat pada masa

pemerintahan presiden Soekarno. Ia diangkat menjadi menteri agama pada tahun 1949 (Zastrow, 1999: 13). 65
perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun, Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, dan novel. Disamping membaca, Ia memiliki hobi bermain bola, catur, dan musik. Kegemaran Gus Dur terhadap sepak bola membuatnya pernah diminta bertindak sebagai komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya adalah menonton bioskop, sehingga ia sangat mengapresiasi dunia film (Roziqin, dkk, 2009:35). Ayah Gus Dur meninggal dalam kecelakaan pada bulan April

1953. Waktu itu, Gus Dur bersama ayahnya sedang dalam perjalanan ke

Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru (lembaga pendidikan berbasis Islam). Gus Dur dapat diselamatkan dalam kecelakaan tersebut, akan tetapi ayahnya meninggal dunia. Peristiwa itu sangat mempengaruhi kehidupannya dan menjadi pijakan Gus Dur untuk semangat belajar serta ia merasa bertanggung jawab terhadap NU di masa mendatang (Ghofur,

2002: 55).

Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah yang merupakan santrinya ketika mengajar di Tambak Beras. Mereka menikah sewaktu Nuriyah akan memasuki studi di IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga). Pada tahun tersebut, Gus Dur masih dalam proses studi di Baghdad (Irak), sehigga tidak dapat pulang ke Indonesia. Permasalahan jarak itulah yang menyebabkan pernikahan mereka berlangsung melalui perkawinan wali 66
atau perkawinan jarak jauh. Wakil Gus Dur dalam pernikahannya adalah kakeknya sendiri, yaitu Bisri Syansuri yang pada saat itu telah berusia 81 tahun. Pernikahan tersebut berlangsung pada tanggal 11 Juli 1968 (Barton,

2011: 109-110).

Setelah kepulangan Gus Dur dari studinya di luar negeri, tepatnya pada bulan September 1971, pesta pernikahan Gus Dur dan Nuriyah baru bisa berlangsung (Barton 2011: 115). Dari pernikahan dengan Nuriyah tersebut, Gus Dur memperoleh empat orang putri. Mereka adalah Alisa Quthrunnada Munawaroh (Lisa), Zannuba Arifah Chafsof (Yeni), Anita Hayyatunnufus dan Inayah Wulandari (Murod, 1999: 28). Sepulang dari rantau Gus Dur mengajar di Fakultas Ushuluddin, Universitas Hasyim Asy"ari, Jombang. Sebuah perguruan tinggi Islam yang didirikan pada tahun 1969. Di Universitas ini, Gus Dur mengajar Teologi dan beberapa ilmu agama. Selain itu, ia kembali mengurus NU sebagai Dewan Syuri"ah Nasional NU. Hal ini dilakukan untuk memenuhi permintaan kakeknya, Bisri Syansuri (Al-Zastrouw, 1999: 28). Profesi Gus Dur sebagai Dewan Syuri"ah NU mengharuskannya pindah ke Jakarta. Di Jakarta, Gus Dur merintis Pesantren Ciganjur. Pada awal tahun 1980, Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib Syuriah PBNU. Gus Dur pun menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun

1983. Ia juga pernah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti

67

1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan,

khususnya kalangan nasionalis dan non muslim (Roziqin, dkk., 2009: 37). Selama 15 tahun, 1984-1999 Gus Dur menjadi ketua umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama"). Disini, ia terlibat dalam berbagai diskusi dan perdebatan serius yang membahas masalah-masalah agama, sosial, dan politik. Selain kesibukannya di NU, Gus Dur memperluas jaringannya dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ia bergelut di dunia LSM bersama beberapa tokoh seperti Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Aswab Mahasin. Sejak saat inilah, pikiran-pikiran dan tindakan Gus Dur menjadi sesuatu yang fenomenal di Indonesia (Al-Zastrouw,

1999: 31-32).

Dari keaktifannya di beberapa lembaga sosial, forum-forum diskusi dan LSM, ia muncul ke permukaan percaturan intelektual Indonesia melalui pemikiran-pemikirannya yang brilian. Melalui pemikirannya yang inklusif, ia menjadi salah seorang yang fungsionaris di LP3ES (Lembaga Pengkajian Pengetahuan, Pendidikan, Ekonomi dan Sosial). Salah satu peran pentingnya dalam lembaga ini adalah menerbitkan jurnal "Prisma" yang selama bertahun-tahun menjadi sebuah jurnal ilmu sosial utama Indonesia. Ia pun menjadi penulis tetapnya. Disini, Gus Dur bergaul luas dengan para aktifis LSM dalam dan luar negeri tanpa mengesampingkan kegiatannya di pesanrtren. Hal ini terbukti 68
dengan berdirinya pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan (Barton, 2011: 114).
Gus Dur pernah menduduki kursi anggota MPR-RI setelah pemilu

1987 (Barton, 2011: 183). Pada 19 Januari 1998, Gus Dur terserang

stroke. Dampak dari penyakit yang dideritanya iala eye drooping, kornea mata yang copot dan tidak berfungsi lagi untuk melihat dan mudah mengantuk. Dengan kondisi seperti itu, Gus Dur harus menghentikan hobinya membaca, nonton wayang, sepak bola dan lain sebagainya. Namun, penyakit tersebut tidak mengurangi ingatan Gus Dur. Hal ini terbukti dari aktivitas Gus Dur yang tidak berubah drastis antara sesudah dan sebelum terkena stroke (Munawar, 2010: 121). Pada bulan Juli 1998, didirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dimotori leh Matori Abdul Djalil. Dari partai tersebut, Gus Dur diusung menjadi calon presiden pada pemilu tahun 1999. Pada pemilu 20 Oktober 1999 tersebut, Gus Dur meraih kemenangan atas Megawati dan secara resmi dilantik menjadi presiden ke-4 RI. Inilah puncak karir politiknya, sebelum ia digulirkan pada kursi kepresidenan pada tahun

2001 (Nuril dan rosyadi, 2010: 50).

Echwan dalam http://nusantaranews.wordpress.com menyebutkan beberapa gelar kehormatan (Honoris Causa) yang diterima Gus Dur atas kiprah dan jasa-jasanya sebagai berikut : 69
1. Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)

2. Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)

3. Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi

dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne

University, Paris, Perancis (2000)

4. Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat

University, Bangkok, Thailand (2000)

5. Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok,

Thailand (2000)

6. Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok,

Thailand (2000)

7. Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang

(2002)

8. Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University,

Israel (2003)

9. Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul,

Korea Selatan (2003)

10. Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan

(2003) Berbagai penghargaan internasional lainnya juga diterima Gus Dur, diantaranya: Islamic Missionary Award, Pemerintah Mesir (1991); 70
Magsaysay Award, Manila Filipina (1993); Ambassador of World Peace, International and Interreligious Federation for World Peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat (2001); World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan (2003); Global Tolerance Award, Friend of tha United Nations, New York, Amerika Serikat (2003), The Culture of Peace Distinguished Award 2003; International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia (2004); First freedom Award, AS (2010) (Wahid dan Daisaku, 2010: vii- viii).

2. Riwayat Pendidikan

Gus Dur sejak dilahirkan telah bersentuhan dengan dunia pesantren. Ia belajar mengaji dan membaca Al-Qur"an dengan sang kakek, KH. Hasyim Asy"ari di pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang. Dalam usia lima tahun, Gus Dur telah lancar membaca Al-Qur"an. Selain membaca Al-Qur"an, ia juga gemar membaca berbagai buku (Al-

Zastrouw, 1999: 13).

Pada tahun 1949, ketika ayahnya diangkat sebagai menteri agama, keluarga KH. Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Gus Dur pun menyelesaikan sekolah di Jakarta. Di samping pendidikan formalnya, Gus Dur mengikuti les privat bahasa Belanda. Guru lesnya Willem Buhl, seorang Jerman yang menjadi muallaf dan mengganti namanya dengan 71
Iskandar. Buhl mengenalkan budaya Barat kepada Gus Dur melalui musik-musik klasik Barat yang biasa dinikmati orang dewasa. Menjelang kelulusannya di sekolah dasar, Gus Dur memenangkan perlombaan karya tulis dan menerima hadiah dari peerintah (Al-Zastrouw, 1999: 14). Pada tahun1954, Gus Dus masuk ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Gus Dur gagal dalam ujian. Kegagalannya dalam kenaikan kelas disebabkan oleh seringnya ia menonton pertandingan sepak bola dan mengabaikan pekerjaan rumah. Setelah itu, Gus Dur dikirim oleh ibunya ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di SMP. Ia tinggal di rumah teman ayahnya, kyai Junairi yang merupakan seorang dewan penasehat Muhammadiyah.

7 Hal ini sangat bertolak belakang

dengan latar belakang keluarga Gus Dur yang merupakan kaum muslim tradisionalis NU.

8 Kedua organisasi tersebut merupakan dua organisasi

Islam yang berbeda pendekatan dalam menafsirkan al-Qur"an. Selain itu, Muhammadiyah dan NU berbeda pula dalam menyikapi praktik-praktik dan kepercayaan msitik serta dalam integrasi budaya mereka ke dalam kehidupan urban (Barton, 2011: 49-50). Ketika menjadi siswa SMP, hobi Gus Dur dalam membaca semakin mendapatkan tempat. Misalnya, Gus Dur didorong oleh gurunya

7 Muhammadiyah merupakan organisasi Islam modern yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan

pada tahun 1912 (Barton, 2011: 50)

8 Organisasi NU didirikan oleh kakek Gus Dur yang bernama Hasyim Asy"ari pada tahun 1926

(Barton, 2011: 27) 72
untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. serta untuk meningkatan kemampuan bahasa Inggrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of

America dan BBC London.

Di toko-toko buku di Yogyakarta, Gus Dur dapat menemukan judul-judul buku menarik. Sebagai seorang remaja, ia mulai mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, dua orang pemikir penting bagi sarjana-sarjana mengenai Islam zaman pertengahan, juga Das Kapital karya Marx dan What is To be Done karya Lenin, kedua buku yang mudah diperoleh di negeri ini ketika Partai Komunis Indonesia membuat kemajuan besar. Ia juga banyak tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Book-Mao (Barton, 2011: 56). Untuk melengkapi pendidikan Gus Dur, seminggu tiga kali, ia pergi ke Pesantren Al-Munawwir yang terletak di Krapyak, sedikit di luar Yogyakarta. Di pesantren ini, suami Nuriyah itu belajar bahasa Arab kepada KH. Ali Ma"shum. Pada saat ini, Gus Dur telah menguasai bahasa Inggris dengan baik dan dapat membaca tulisan dalam bahasa Prancis dan Belanda. Namun kemampuan bahasa Arabnya masih pasif. Dari sinilah kemampuan berbahasa Arabnya mulai melesat jauh. 73
Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama pada 1957 di Yogyakarta, Gus Dur mulai mengikuti pelajaran di pesantren secara penuh. Ia bergabung di pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah. Ia tinggal di pesantren ini sampai pada pertengahan 1959. Di pesantren ini, Gus Dur belajar kepada kyai Khudori yang merupakan salah satu pemuka NU di Magelang. Pada saat yang sama, ia juga belajar paruh waktu di pesantren Denanyar, Jombang, di bawah asuhan kakeknya dari pihak Ibu, kyai Bisri Syansuri (Barton, 2011:52). Dua tahun belajar di pesantren Tegalrejo, kemudian Gus Dur kembali ke Jombang untuk belajar di Pesantren Tambak Beras di bawah bimbingan KH. Wahab Chasbullah. Ia belajar di pesantren ini hingga tahun 1963 dan selama kurun waktu itu ia selalu berhubungan dengan Kiai Bisri Syansuri. Selama tahun pertamanya di Tambak Beras, Gus Dur mendapat dorongan untuk mulai mengajar. Dan kemudian ia mengajar di madrasah modern yang didirikan di kompleks pesantren dan juga menjadi Kepala sekolahnya. Selama masa ini pula ia tetap berkunjung ke Krapyak secara teratur. Di kota ini, ia tinggal di rumah Kiai Ali Ma"shum. Pada masa inilah Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan sastra Arab klasik. Di kalangan pesantren, ia dianggap sebagai siswa yang cemerlang. Studinya banyak bergantung pada kekuatan ingatan, hampir-hampir tidak memberikan tantangan kepada Gus 74
Dur yang mempunyai ingatan yang amat kuat walaupun ia dikenal sebagai siswa yang malas dan kurang disiplin dalam studi formalnya (Barton,

2011: 53).

Pada usia 22 tahun, Gus Dur menunaikan ibadah haji dan melanjutkan studinya di Timur Tengah. Ia belajar di Universitas Al- Azhar, Mesir. Sesampainya di Mesir, ia merasa kecewa karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Hal itu disebabkan oleh tidak dimilikinya ijasah pondok pesantren maupun aliyah, meskipun dia telah lulus dari beberapa pondok pesantren. Untuk mengurangi kebosanannya, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat pelayanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku (Al-

Zastrouw, 1999: 22).

Selama studi di Al-Azhar, Gus Dur kurang disiplin dalam hal absensi karena merasa bahwa apa yang harus dipelajari di universitas tersebut telah ia pelajari selama nyantri di Magelang dan Jombang. Akibatnya, ia gagal lulus dalam salah satu mata kuliah inti dan harus mengulang tanpa beasiswa. Di tengah kekecewaannya, pada tahun 1966 Gus Dur memperoleh kabar baik yakni ia mendapat tawaran beasiswa di Universitas Baghdad, Irak. Di Irak ia masuk dalam Department of Religion. Di negara inilah, intelektualitas Gus Dur semakin terasah. Ia pun belajar keras dan lebih teratur. Ia merasa labih nyaman berada di 75
Universitas Baghdad karena masyarakat Muslim Arab klasik dikaji secara empiris dengan metodologi yang tajam. Selama di Baghdad, Gus Dur belajar bahasa Prancis di Pusat Kebudayaan Prancis di kota tersebut. Waktu-waktu yang dilalui Gus Dur semakin padat karena dari pukul sebelas sampai dua siang ia bekerja di kantor Ar-Rahmadani (perusahaan kecil yang mengkhususkan diri dalam impor tekstil dari Eropa dan Amerika). Sore harinya dimanfaatkan untuk membaca di perpustakaan universitas (Barton, 2011: 104). Pada pertengahan tahun 1970, Gus Dur menyelesaikan studi empat tahunnya di Universitas Baghdad, ia pun kemudian pindah ke Eropa untuk mencari pengalaman di dunia Barat selama hampir setahun dan akhirnya kembali ke tanah air pada pertengahan tahun 1971 (Barton, 2011: 105).

3. KH. Abdurrahman Wahid dan Karya-karyanya

Gus Dur sebagai seorang yang gemar membaca, juga banyak menuangkan gagasan dalam berbagai tulisan. Berbagai tulisannya telah dikenal luas sejak tahun 1971 sebagai repesentasi kaum sarungan (pesantren). Dunia tulis-menulis telah digeluti sejak Gus Dur menjadi pengurus Sekolah Mu"allimat Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang. Mulai tahun 1961, ia aktif mengirimkan artikelnya ke majalah Horison dan Budaya Jaya. Pada 1964, kegiatan menulisnya semakin meningkat. 76
Bersama Mustofa Bisri, Gus Dur menerbitkan majalah Perhimpunan Pelajar Indonesia Kairo (PPI-Kairo) (Munawar, 2010: 126). Gus Dur semakin intens dalam menulis ketika LP3ES menerbitkan majalah Prisma. Incres (Institute of Culture and Religion Studies) telah mengumpulkan 493 tulisan Gus Dur sampai tahun 2000 yang terbagi dalam beberapa bentuk tulisan berikut:

Tabel 1

Bentuk-Bentuk Tulisan Gus Dur

No. Bentuk Tulisan Jumlah Keterangan

1 Buku 12 buku Terdapat pengulangan

2 Terjemahan 1 Bersama Wahid Hasyim

3 Kata pengantar buku 20

4 Epilog buku 1

5 Antologi 41

6 Artikel 263 Tersebar di beberapa majalah

dan koran

7 Kolom 105 Tersebar di berbagai majalah

8 Makalah 50 Sebagian besar

tidak dipublikasikan

Jumlah 493

Setelah tahun 2000, terbit 3 buku kumpulan tulisan Gus Dur, yaitu Kumpulan Kolom dan artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser (60 artikel), Gus Dur Bertutur (2 artikel), dan Universalisme dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam (20 artikel dimuat di Kompas). Selain itu, publisitas tulisan Gus Dur dilakukan melalui situs internet www.gusdur.net, yang secara periodik menampilkan responnya mengenai masalah-masalah kontemporer di Indonesia maupun manca negara. 77
Munawar (2010: 128) menyebutkan bahwa spektrum intelektualitas Gus Dur mengalami perluasan dari waktu ke waktu, terutama wacana yang dikembangkannya. Temuan Incress (2000) mengidentifikasi perkembangan tersebut sesuai dengan periodesasi per sepuluh tahun, mulai 1970-2000. Adapun rinciannya sebagai berikut:

Tabel 2

Tema-Tema Tulisan Gus Dur

No.

Periode Jumlah Keterangan

1 1970-an 37 Tradisi pesantren, modernisasi pesantren, NU, HAM, reinterpretasi ajaran, pembangunan, demokrasi

2 1980-an 189 Dunia pesantren, NU, ideologi negara (Pancasila), pembangunan, militerisme, pengembangan masyarakat, pribumisasi Islam, HAM, modernisme, kontekstualisasi ajaran, Parpol.

3 1990-an 253 Pembaruan ajaran Islam, demokrasi, kepemimpinan umat, pembangunan, HAM, kebangsaan, Parpol, Gender, toleransi agama, Universalisme Islam, NU, Globalisasi.

4 2000-an 122 Budaya, NU dan Parpol, PKB, demokratisasi dan HAM, ekonomi dan keadilan sosial, ideologi dan negara, tragedi kemanusiaan, Islam dan fundamentalisme.

quotesdbs_dbs50.pdfusesText_50
[PDF] download buku tuhan tidak perlu dibela pdf

[PDF] download kumpulan rumus fisika sma lengkap

[PDF] download kumpulan rumus matematika sma lengkap pdf

[PDF] download materi fisika lengkap

[PDF] download novel negeri 5 menara pdf full

[PDF] download novel ranah 3 warna pdf

[PDF] download novel ranah 3 warna pdf gratis

[PDF] download novels pdf

[PDF] download oxford english dictionary pdf

[PDF] download pdf ejemplo

[PDF] download soal olimpiade biologi sma dan pembahasannya pdf

[PDF] download tuhan tidak perlu dibela pdf

[PDF] download uu no 12 tahun 2011

[PDF] downtown boogie montreux jazz 2017

[PDF] dpe 5 academie versailles